Sejarah Kota Kendari, Adat dan Budayanya
masyarakat Tolaki. Kota kendari
adalah kota yang terletak di Sulawesi Tenggara. Wilayah daratannya
berbukit-bukit sampai ke pesisir pantai. Sebagai ibukota dari Provinsi Sulawesi
Tenggara, Kota Kendari terletak di 3º54’30” – 4º3’11” LS dan 122º23’ – 122º39’
BT dengan luas sekitar 295,89 km².
Baca juga: Kisah pulau sagori wisata bombana
Wilayah Kota Kendari berbatasan dengan:
1. Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe di sebelah Utara.
2. Laut Kendari
di sebelah Timur.
3. Kecamatan
Moramo, dan Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan di sebelah Selatan.
4. Kecamatan Ranomeeto (Kabupaten
Konawe Selatan) dan Kecamatan Sampara (Kabupaten Konawe).
Dengan ketingian rata-rata 30 mdpl, Kota
Kendari merupakan wilayah beriklim tropis. Suhu udara di Kota Kendari berkisar
antara 19,58°-32,83°C dengan suhu rata-rata sekitar 26,20°C. Kota Kendari
mengalami musim hujan sekitar bulan November hingga Maret dan musim kemarau
sekitar bulan Mei hingga September. Sedangkan di bulan April dan Oktober, Kota
Kendari mengalami musim peralihan atau disebut juga musim pancaroba. Pada musim
ini, arus angin tidak menentu dan hujan yang turun tidak merata.
Kota Kendari memiliki 64 Kelurahan dari 10
Kecamatan, antara lain:
- Kecamatan Abeli
dengan ibukota Abeli.
- Kecamatan
Baruga dengan ibukota Baruga.
- Kecamatan
Kendari dengan ibukota Kendai.
- Kecamatan
Kendari Barat dengan ibukota Benu-benua.
- Kecamatan
Mandonga dengan ibukota Mandonga.
- Kecamatan
Poasia dengan ibukota Andounohu.
- Kecamatan Kadia
dengan ibukota Kadia.
- Kecamatan
Wua-wua dengan ibukota Wua-wua.
- Kecamatan Kambu
dengan ibukota Kambu.
- Kecamatan
Puwatu dengan ibukota Puwatu.
Sejarah Kota Kendari
Kota Kendari dimasa Pemerintahan kolonial Belanda
merupakan ibukota kewedanan dan ibukota Onder
Afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya kurang lebih 31,420 Km2. Sejalan
dengan dinamika perkembangan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan laut antar
pulau, maka Kendari terus tumbuh menjadi ibukota Kabupaten dan masuk dalam
Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara.
Menurut sejarah, Kota Kendari sudah ada sejak abad ke-19 sebagai
ibukota Kerajaan
Laiwoi. Kota Kendari menjadi sebuah kota perdagangan dengan
dibukanya pelabuhan perdagangan di Teluk Kendari oleh pemerintah Belanda.
Bidang perdagangan kemudian berkembang karena keahlian berdagang Suku Bugis dan Suku Bajo
yang bermukim di sekitar Teluk Kendari.
Dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1964 terbentuklah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kendari
ditetapkan sebagai ibukota propinsi yang terdiri atas 2 (dua) wilayah kecamatan
yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga dengan luas wilayah 76,76 Km2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1978 Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota
Administratif dan berkembang menjadi 3 (tiga) wilayah kecamatan dengan luas
wilayah 187,990 Km2 yang meliputi Kecamatan Kendari, Kecamatan Mandonga dan
Kecamatan Poasia.
Selama terbentuknya Kota Administratif Kendari,
berturut-turut menjadi Walikota ialah:
1. H. MANSYUR PAMADENG Tahun 1978 - 1979
2. Drs. H.M. ANTERO HAMPA Tahun 1980 - 1985
3. Drs. H. ANAS BUNGGASI Tahun 1985 - 1988
4. H. ADY MANGILEP selaku pelaksana tugas Tahun 1988 - 1991
5. Drs. A. KAHARUDIN selaku pelaksana tugas Tahun 1991 - 1992
6. Drs. H. USMAN SABARA selaku pelaksana tugas Tahun 1993
7. Drs. H. LM SALIHIN SABORA Tahun 1993 - 1995
8. Kol. (Inf) A. RASYID HAMZAH selaku pelaksana tugas Tahun 1995
Melalui perjuangan yang cukup panjang dan tekad warga
kota yang menginginkan Kota Administratif Kendari menjadi Kotamadya Daerah
Tingkat II sebagai daerah otonom, maka dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1995 tanggal 3 Agustus 1995 Kota Administratif Kendari berubah status
menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari yang diresmikan oleh Bapak Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 27 September 1995 dan tanggal ini pula ditetapkan
sebagai hari lahirnya Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari.
Dengan terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II
Kendari, maka sebagai Walikotamadya KDH. Tk. II Kendari diangkat Drs. LASJKAR
KOEDOES sebagai Pj. Walikotamadya KDH. Tk. II Kendari sejak 27 September 1995 -
27 September 1996. Selanjutnya, seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, maka istilah Daerah Tingkat II dan Kotamadya
berubah menjadi Kabupaten dan Kota sehingga Kota Kendari menjadi daerah otonom
yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Arti Logo Kota Kendari
Logo Kota Kendari Berbentuk perisai segilima samasisi yang bermakna bahwa pemerintah daerah dan masyarakatnya
dalam menyelenggarakan pembangunan dijiwai dan bernapaskan asas Pancasila. Pada
logo tersebut terdapat bagian-bagian
yang merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
1. Gong melambangkan sejarah masa lalu
yang bermakna kekeluargaan dan kegotong-royongan. Bahwa pemerintah dan rakyat
selalu seirama dalam menentukan gagasan kebutuhan hidup masyarakat.
2. Pilar
melambangkan masa kini/zaman pembangunan yang bermakna kekuatan hidup, kemasyarakatan
melalui pembangunan dalam segala aspeknya. Tangga berteras enam yang
menggambarkan nomor undang-undang pembentukan Kota Kendari yaitu tahun 1995
nomor 6. Tiang pilar bagian luar bergerigi sembilan dan dalamnya bergerigi lima
yang menggambarkan tahun pembentukan Kota Kendari yaitu tahun 1995.
3. Kubah melambangkan kebudayaan daerah yang bermakna kejayaan
yang gilang gemilang bagi warga masyarakat.
4. Kalosara
melambangkan kebudayaan daerah yang bermakna kejayaan masyarakat Kotamadya
Kendari dijiwai oleh kesatuan dan persatuan.
5. Bintang
melambangkan keimanan dan ketaqwaan serta wawasan keilmuan bagi masyarakat yang
menjiwai dan memberi semangat bagi segala gerak masyarakat dalam kehidupan yang
jaya itu.
6. Padi dan Kapas melambangkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang bermakna cukup makan, cukup sandang, cukup
papan sebagai manifestasi potensi alam yang kaya diaktualisasikan melalui kerja
keras dan penggunaan ilmu dan teknologi.
Arti Warna-Warna Dalam Logo Kota Kendari Melambangkan
1. Warna biru laut (warna dasar logo)
menggambarkan suasana kesejukan dan ketentraman serta pandangan yang jauh
kedepan.
2. Warna hitam pada gong menggambarkan
suasana kehidupan yang mantap dan stabil tidak goyah.
3. Warna putih pada pilar-pilar
menggambarkan bahwa pembangunan yang kini dilancarkan berdasar pada pandangan
kesucian, kemurnian dan keadilan sebagai tuntutan kehidupan yang didasari oleh
ajaran-ajaran agama.
4. Warna kuning emas pada kubah
maupun bintang menggambarkan kekuasaan, kejayaan, keindahan dan keharuman yang
menyelimuti kehidupan masyarakat yang merupakan tujuan akhir dari kehidupan
manusia di bumi ini.
6. Warna kuning-putih-hijau
pada padi dan kapas bermakna bahwa suasana kehidupan yang makmur dan sejahtera
senantiasa diliputi oleh suasana kehidupan yang lestari, tumbuh berkembang dan
berkesinambungan.
7. Warna merah pada tulisan Kota
Kendari melambangkan semangat keberanian yang menggelora pemerintah dan
masyarakat dalam membangun segala aspek kehidupan masyarakat Kota Kendari.
Budaya Kota Kendari
Dengan jumlah penduduk sekitar 289.468 jiwa (sensus penduduk tahun
2010), mayoritas penduduk Kota Kendari memeluk agama Islam. Kota Kendari dihuni
oleh masyarakat dari Suku Tolaki, Suku Muna, Suku Buton, dan Suku Bugis.
Sedangkan penduduk asli Kendari berasal dari Suku Tolaki. Kebudayaan yang
dimiliki Kota Kendari mayoritas bersumber dari kebudayaan Suku Tolaki.
Tari Lulo (
Tari Pergaulan)
Tari Lulo adalah tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga
populer di Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai
ajang perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan
sebagai tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, dalam
hal ini wisatawan.
Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para
penarinya saling berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran yang saling
menyambung. Dalam sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota
Kendari, para penari Lulo selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari.
Setiap tamu yang tidak bisa menari akan dianjarkan cara melangkah atau menari
ala Tari Lulo oleh penari yang mengajaknya hingga terbiasa.
Tari Lulo ini pun kerap ditampilkan pada Festek. Bahkan pada
perayaan tersebut, tari ini pernah ditampilkan secara kolosal dengan
mengikutsertakan warga kota dan wisatawan yang datang
Tari Monotambe
(Tari Penjemputan)
Tari Monotambe atau tari penjemputan misalnya merupakan tarian
khas Suku Tolaki yang kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk
menjemput tamu besar. Misalnya saat pembukaan Festival Tekuk Kendari (Festek)
yang kerap dihadiri beberapa tamu penting dari Jakarta dan daerahlain. Sebagai
catatan Suku Tolaki merupakan penduduk asli Kota Kendari sebagaimana Suku
Betawi di Kota Jakarta.
Tarian ini dilakoni oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari
lelaki sebagai pengawal. Para penari perempuanyya mengenakan busana motif
Tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat
kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini,
beberapa penari perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan dua
penari lelakinya memegang senjata tradisional.
Adat dan Kebudayaan Masyarakat
Tolaki
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di
Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE
MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1. Tambo I ´Losoano Oleo
2. Tambo I´ Tepuliano Oleo
3. Bharata I´Hana
4. Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat
satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau
persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA”
serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa
dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan
pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat
nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi
pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah
istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
1. Budaya O’sara (Budaya
patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat)
Masyarakat Tolaki adalah masyarakat lebih memilih menyelesaikan
secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa
maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam
masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati
dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan
masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
2. Budaya Kohanu
(budaya malu)
Budaya Malu sejak dulu
merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang
setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan
dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan
tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan
miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk
setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif
dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk
menjadi yang terdepan.
3. Budaya Merou
(Paham sopan santun dan tata pergaulan)
Budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku
yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai
dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara
lain sebagai berikut:
“Inae Merou,
Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti
orang lain akan banyak sopan kepadanya.
“Inae Ko Sara Nggoie Pinesara,
Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi
dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat
maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman
“Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa
Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan
kebaikan
4. Budaya
“samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu)
Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan
pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun
dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu,
bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
5. Budaya “taa
ehe tinua-tuay” (Budaya
Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki)
Budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu)
namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat
mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi
Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa
Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”,
kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini
.kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah
kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.
Sumber
referensi: www.kemendagri.co.id
www.gocelebes.com
www.gocelebes.com
0 comments:
Post a Comment